Monday, August 30, 2010
bila hati terluka
ukhuwwah selamanya...
jadi yang terbaik
Orang yang kita sayang...
Sunday, August 29, 2010
mutiara kata indah....
Saturday, August 28, 2010
kata-kata cinta
Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu. Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh di hatimu |
Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup, jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya
Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu,
tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah
memiliki keberanian untuk mengutarakan Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan.
Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup
sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.
tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah
memiliki keberanian untuk mengutarakan
cintamu kepadanya.
Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan pergilah ke
tempat-tempat kamu ingin pergi. Jadilah seperti yang kamu inginkan, karena
kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan
hal-hal yang ingin kamu lakukan.
tempat-tempat kamu ingin pergi. Jadilah seperti yang kamu inginkan, karena
kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan
hal-hal yang ingin kamu lakukan.
Tetapi sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup
sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.
dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita
inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita
temukan di dalam dia.
Orang-orang yang paling berbahagiapun tidak selalu memiliki
hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap
hal yang hadir dalam hidupnya
hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap
hal yang hadir dalam hidupnya
Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang
salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti
bagaimana berterimakasih atas kurnia itu.
salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti
bagaimana berterimakasih atas kurnia itu.
Hanya diperlukan waktu seminit untuk menaksir seseorang, sejam
untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang, tetapi
diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang
untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang, tetapi
diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang
Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang
disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya
mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir
dalam hidup mereka.
disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya
mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir
dalam hidup mereka.
Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah
dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah
dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti
hatinya.
dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah
dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti
hatinya.
IF YOU...
If you can keep your head when all about you Are losing theirs and blaming it on you; If you can trust yourself when all men doubt you, But make allowance for their doubting too; If you can wait and not be tired by waiting, Or, being lied about, don't deal in lies, Or, being hated, don't give way to hating, And yet don't look too good, nor talk too wise; If you can dream - and not make dreams your master; If you can think - and not make thoughts your aim; If you can meet with triumph and disaster And treat those two imposters just the same; If you can bear to hear the truth you've spoken Twisted by knaves to make a trap for fools, Or watch the things you gave your life to broken, And stoop and build 'em up with wornout tools; If you can make one heap of all your winnings And risk it on one turn of pitch-and-toss, And lose, and start again at your beginnings And never breath a word about your loss; If you can force your heart and nerve and sinew To serve your turn long after they are gone, And so hold on when there is nothing in you Except the Will which says to them: "Hold on"; If you can talk with crowds and keep your virtue, Or walk with kings - nor lose the common touch; If neither foes nor loving friends can hurt you; If all men count with you, but none too much; If you can fill the unforgiving minute With sixty seconds' worth of distance run - Yours is the Earth and everything that's in it, And - which is more - you'll be a Man my son! |
Cerpen - Kelikir Cinta Humaira...
"KAU lelaki tak punya perasaan." Sergah suatu suara mematikan lamunanku suatu petang. "Kau lelaki pasif. Angkuh dan ego dengan kekacakanmu. Tidak pernah memikirkan hati manusia lain yang bernama wanita." Suatu suara lain lebih merdu persis suara wanita. "Aku?" Aku bertanya suara-suara yang aku dengar tadi. "Ya..." Mereka menjawab serentak. Aku terkasima. "Siapa kamu berdua. Apa tujuan kamu mengganggu aku?" "Kau tak kenal kami Akhi?" Soal suara si wanita yang merdu itu. Aku cuma menggeleng. Tubuhku mula menggeletar. Aku bukan bermimpi lagi. Suara itu semakin jelas didengari. Ia bukan ilusi. "Aku tak kenal kamu berdua!" Jelasku bernada getar. "Kau yang mencipta kami. Kau lupa?" "Cipta??? Cipta... aku cipta kamu berdua?" Aku semakin bingung. "Bila pula aku cipta kamu berdua?" Aku kembali melontar persoalan. "Kau memang cepat lupa... Akhi. Aku tahu kau seorang penulis karya seni tapi hari ini kau melupakan watak-watak karyamu yang pernah kau cipta itu." Suara si lelaki mendatar. Aku dapat membaca kekecewaan yang terzahir. "Kau kagum bila karyamu dipuji-puja. Tapi kau sepatutnya merasa bersalah menciptakan watak-watak seperti kami! Apa motif kau berkarya Akhi?" Soalan merdu wanita tadi kembali menghantui. "Kenapa pula kamu berdua kata begitu?" Aku memberanikan diri bertanya suara-suara tadi. Aku bangun dari katil bujangku mengahampiri jendela bilik di sebelah barat. Suara tadi seolah-olah terpacul dari situ. Aku yakin aku perlu mendapatkan penjelasan selanjutnya dari mereka. "Habis???" Soal suara si lelaki kembali. "Aku tidak gemar berbicara dengan orang yang tidak aku kenali!" "Kau memang pandai mencipta provokasi dan falsafah yang menyusahkan orang." "Aku tidak bermaksud begitu." "Itu bukan urusan aku." "Siapa kamu berdua? Aku lebih suka mengenali..." Tuturku lembut. "Baiklah... Aku jelaskan padamu yang aku ini watak yang pernah kau cipta dalam karyamu. Aku muncul untuk menuntut hak aku." "Hak kau??? Siapa kau wahai suara?" "Aku Syam. Kau tentu kenal bukan?" Syam! Akalku ligat berfikir. Mencari insan bernama Syam. Tetapi gagal untuk bertemu. Aku jadi serba salah. "Aku Aisyah." Sambung suara merdu yang kian lama terdiam. "Syam... Aisyah?" Aku masih mencari. "Kami berdua watak yang kau cipta dalam karyamu yang berjudul Dia Seorang Teman (Maafkan Aku Aisyah). Apa kau dah lupa. Ahhh.. sesingkat itu kau melupakan kami." "Aku masih ingat..." Jawabku sepontan. "Ha.. Ha.. ha.. ha... Hi.. hi.. hi.." Suara Syam dan Aisyah ketawa mengilai. Aku berundur sedikit ke belakang. Tubuhku seram sejuk. Aku rasa mahu saja aku terus lari meninggalkan suara-suara tadi. Suara-suara yang aneh dan menakutkan. Bulu romaku kembali terpacak. Tiba-tiba pintu bilikku terkuak. Aku terkejut lagi untuk kesekian kalinya. Jantungku berdegup semakin kencang. Kak Long masuk ke dalam bilikku sambil menatang sedulang juadah. Aku mengawal diri supaya tidak timbul syak di hati Kak Long. Peristiwa tadi biarlah menjadi igauanku seorang. Kak Long tersenyum ke arahku. Aku membalas dengan senyuman yang hambar. Suara-suara tadi sudah menghilang entah ke mana. "Hai Syam lain macam saja akak tengok. Kenapa?" "Syam tak apa-apa." Ujarku manja. "Ada masalah ke adik akak ni?" "Tak adalah Kak Long!" "Betul ni?" Aku mengangguk terharu. Kak Long meletakkan dulang berisi juadah minum petang di atas meja. Aku cuma memerhatikan. "Ishk... sayang betul Kak Long kat Syam. Buat susah susah saja." Aku berbasa-basi. Senyuman Kak Long semakin manis. Kak Long mencapai sebuah Novel dari rak bukuku seraya menunjukkan reaksi meminjam sambil berlalu keluar. Pintu kembali tertutup. Kak Long minat membaca. Malah dia pernah menulis Cerpen dan puisi. Tetapi Kak Long sudah usai semenjak bersuami. Aku merapati meja bacaanku. Kemudian menekan punat power supaya Komputer peribadiku yang semakin dimamah usia itu kembali bertugas. Akalku ligat mencari-cari watak-watak yang pernah aku ciptakan. Seolah ianya seperti tugasan dari suara-suara tadi yang kian mengahantui benak. Aku mula menceroboh fail-fail yang tercipta dari folder-folder yang berlambak-lambak itu. Kuselak satu demi satu karya-karya yang pernah aku hasilkan. Bermula dengan puisi-puisi, esei dan cerpen. Aku lebih tertarik menyelongkar cerpen, kerana biasanya aku gemar mencipta watak menerusi cerpen atau novel. Jarang aku mencipta watak-watak lain dalam genre penulisanku yang lain. Akhirnya aku menemui cerpen berjudul Dia Seorang Teman. Seperti yang dinyatakan suara-suara tadi. Aku terus menekan mouse komputerku. Malangnya fail itu sudah kosong. Ini bermakna aku harus menyelongkar disket pula. Usaha tidak berpenghujung di situ walaupun disket yang aku maksudkan itu telah dipinjam oleh adikku Syahrul. Mindaku kembali ligat memikirkan alternatif menemukan kembali kisah Dia Seorang Teman (Maafkan Aku Aisyah). Akhirnya aku mampu membuat konklusi dari sinopsis yang aku cantumkan dari ingatan yang menerpa membantu. Sebenarnya 'Dia seorang teman' adalah sebuah cerpen yang mengisahkan tentang kehidupan dua orang teman. Watak hero bernama Syam; seperti namaku dan heroinnya bernama Aisyah. Berlatarkan kehidupan sebagai anak desa Tambak Budi sebuah kampung nelayan Syam dibesarkan dalam keluarga sederhana dan belajar hidup berdikari sejak kecil lagi. Manakala Aisyah membawa watak gadis pintar yang juga anak jati Tambak Budi tetapi membesar dan menghabiskan usia kanak-kanaknya bersama Ibu saudaranya di daerah lain. Bapanya seorang pesara tentera sedang ibunya pula seorang pendidik. Syam bertemu Aisyah di Pantai desanya sewaktu berhibur mendengar kicauan camar dan memerhati alam. Kebetulan mereka satu sekolah malah sekelas. Semenjak sapaan pertamanya dibalas, Syam dan Aisyah membina keakraban sebagai kawan sekelas. Berpendidikan di Sekolan Agama dan tinggal di asrama. Mereka membawa watak bijak sehingga berjaya cemerlang dalam peperiksaan PMR dan SPM hasil kecekalan usaha bersama. Setelah SPM diumumkan Syam dan Aisyah memohon ke Matrikulasi UIAM. Permohonan mereka berjaya. Namun Keluarga Syam menginginkan dia melanjutkan pelajarannya ke Jordan. Kemahuan keluarga diturutkan dan Aisyah terasa diabaikan. Aisyah hilang pertimbangan. Dia menghilangkan diri. Sewaktu permusafiran Syam ke Jordan, Aisyah menukar haluan. Dia tidak mendaftar di Matrikulasi UIAM sebaliknya memilih untuk belajar di Kolej Swasta. Tinggal bersama rakan-rakan liar di rumah sewa. Aisyah mula berubah. Dia meninggalkan kelazimannya menutup aurat. Akhirnya Aisyah terjebak alias diseret ke dunia jengkel Lesbianisme. Mencintai kaum sejenis dan hubungan Seks di luar tabie. Syam terpana sewaktu mengetahui berita itu melalui buku kecil milik Aisyah yang sengaja ditinggalkan terlempar di pantai sewaktu bertemu dengan Syam yang baru pulang dari Jordan. Dari apa yang tertulis dalam buku itu, barulah Syam mengerti Aisyah menaruh harapan yang tinggi dalam hubungan mereka. Diruntun desakan ibunya (syam) supaya perhubungan antaranya dengan Aisyah ada pertalian dan ikatan. Akhirnya Aku (penulis) menemukan jodoh mereka. Syam bertemu Aisyah di pantai setelah memohon petunjuk melalui solat istikharahnya. Syam melamar Aisyah. Cinta yang terbina dari kekuatan kesetiaan. Percintaan perlu ada pertautan iaitu perkahwinan. Namun sayang sekali.... adakah Syam yang terlambat atau Aisyah yang bersalah!!! AaaaaahhhhHHHHHH…..!!!!! Pening! Mindaku ligat berfikir tentang kisah yang pernah aku nukilkan. Di mana salahku? Sehingga aku diserang suara-suara ganjil yang mengaku sebagai Syam dan Aisyah. Aku pernah mencipta watak-watak lain. Misalnya watak Alif sebagai hero dalam cerpen berjudul 'Lagenda Gadis Kedai Bunga', watak Wirda heroinnya, Watak Fatimatul Zahra dalam cerpen 'Warkah Buat Puteriku', watak Taufiq, Fuad, Azmi dan Fikri dalam 'Air Mata Karbala Menitis di Kota Kaherah', Alif, Siti, Fakrul dan Saiful dalam Nostalgia 797 malah banyak lagi; kesemuanya tidak pernah mengganggu aku. Tapi watak Syam dan Aisyah dalam cerpen Dia seorang Teman tiba-tiba menggangguku pula. Mengapa? aHHH... Aku kepeningan memikirkan hal itu. Apa salah aku sehingga Syam dan Aisyah seolah tidak berpuas hati denganku. Aku Buntu! Aku menemukan mereka sebagai pasangan kawan yang ideal pada awalnya. Aku tautkan kasih sayang yang lahir dari jiwa seorang teman, sehingga saat perpisahan mereka dirasakan amat berat kala remaja. Aku wujudkan perasaan cinta yang terbina dalam runtunan jiwa remaja mereka berdua sewaktu dipisahkan. Dan aku temukan mereka di desa asal mereka sehingga Syam akhirnya menyatakan kecintaan yang lahir dalam jiwa mereka yang sudah lama terbina. Akhirnya aku tautkan percintaan murni mereka itu dengan perkahwinan sebagai ikatan yang sah. Di mana lagi silapku? Ah! Barangkali benarlah seperti yang pernah dituturkan; 'Sesuatu kelebihan yang ada pada diri seseorang, kadang-kala dinilai sebagai kelemahan oleh mereka yang berada di pojok yang lain.' Plot-plot cerpen Dia Seorang Teman ligat bermain di mindaku. Aku mencicip milo yang masih berasap yang dihidang Kak Long. Kujamah cucur udang cicah kuah kacang pekat. Aku tersenyum sendiri. Jika suara-suara tadi datang lagi, sekurang-kurangnya aku sudah bersedia dengan jawapan untuk memastikan aku tidak bersalah. Kak Long pernah manjadi penulis karya kreatif suatu masa dahulu. Dia Digilai peminat. Malah dari kalangan peminatnya seorang jejaka yang kini menjadi suaminya. Namun kini Kak Long sudah tidak aktif menulis lagi. Mengapa agaknya? 'Adakah dia juga diganggu watak-watak yang pernah dia cipta seperti apa yang aku alami? Kalau diganggu; adakah itu yang menyebabkan dia berhenti menulis?' Watak Syam dan Aisyah menuduhku lelaki tanpa perasaan, pasif, angkuh dan ego dengan kekacakan. Malah tidak pernah memikirkan perasaan orang lain terutama wanita. Aku bermonolog sendiri. "Apa motif kau berkarya Akhi!" Soalan itu kembali menghantui. Maafkan aku Aisyah. Motifku, ingin meminta maaf daripadamu. Aku tidak pernah menafikan kau seorang teman yang baik. Kau hadir tika lara hati. Kaulah yang memujuk duka hati ini, melepaskan lara, memberikan semangat, mendorong kekuatan dan meresahkan jiwa sesekala warkahmu hadir mengusik. Aku mengenali Aisyah sewaktu jiwa kekosongan sejurus gagal dalam cinta monyet. Cindrelela pertamaku terpaut hati pada lelaki lain. Belum sempat cinta itu mekar kami dipisahkan. Selepas SPM aku melanjutkan pelajaran ke Jordan dalam bidang Bahasa dan Kesusasteraan Arab. Dia masih di peringkat pengajian menengah waktu itu. Perpisahan mengundang kecekalan, kejujuran dan kesetiaan. Namun itu semua sifar. Bibit-bibit cinta kami berakhir dengan kehadiran jejaka lain dalam hidupnya. Sewaktu menjelajah belantara ilmu di Bumi Laut Mati itu, Aisyah hadir mengisi kekosongan. Aku minta maaf darimu... Aisyah. Aku tidak tahu seawal perkenalan itu cintamu berputik padaku. Sedangkan aku masih belum bersedia menerima cinta itu lagi setelah gagal dengan cinta pertama. Aku terkasima memikirkan perjalanan hidup di usia remajaku. Aku mula sedar kala perhubungan kita semakin akrab cemburuku mendahului segalanya. Mungkin hatiku mula membina istana cinta terhadapmu. Aku mendapat tahu kau menjalin hubungan dengan lelaki lain. Aku tidak betah menerimamu secara realiti lagi setelah itu, meskipun cintamu terhadapku semakin berkembang. Aku terseret mengungguli cara As-Syahid Syed Qutub yang pernah meninggalkan cintanya terhadap seorang gadis gara-gara gadis itu ada menjalinkan hubungan dengan lelaki lain. As-Syahid kemudiannya menumpukan cintanya pada perjuangan Islam. Beliau akhirnya syahid di tali gantung sebagai hadiah cintanya terhadap janji Ilahi. Aku? Hubungan kita akhirnya hambar. Lantas sengaja aku gunakan namamu, Aisyah sebagai watak penyeri untuk cerpen Dia Seorang Teman. Aku tidak bermotif menyakitkan hatimu, malah bukan untuk menambah sengsara jiwamu. Niatku sekurang-kurangnya watakmu bersatu dengan cinta Protagonis bernama Syam seperti namaku jua. Itu cara terbaik untukku meminta maaf. Aku kirimkan manuskrip cerpen itu padamu supaya dapat kau membacanya. Itulah motifku yang hakiki. Selama seminggu selepas aku dihantui suara-suara misteri yang mengakui dirinya sebagai watak-watak cerpen Dia Seorang Teman kuhabiskan untuk mengumpul kekuatan, mencari idea dan menajamkan hujah. Penulisanku tergendala. Beberapa cerpen yang sedang kutulis terbengkalai. Esei ibarat karangan merapu. Malah penghasilan puisi-puisiku hambar dan tidak bernafas lagi. Aku kesesatan dalam belantara dunia penulisan. Dunia yang aku tempah sendiri. Berkenalan dengan penulis-penulis gergasi dan menceduk ilmu daripada mereka sehingga mampu menghasilkan cerpen-cerpen bermutu. Menggulung falsafah dan menaladeni disiplin penulisan yang mapan. Sentuhan penulisan kreatifku semakin pudar warnanya. Lakaran puisi-puisiku setelah peristiwa itu hanya layak dibakulsampahkan. Kalau dihantar ke meja editor penerbitan hanya untuk menyemakkan cuma. Aku hilang semangat menulis. Rupanya apa yang aku alami disedari beberapa teman karyawan. Sukar aku menjelaskan situasi konflik yang kualami. Mereka pasti tidak memahaminya atau aku bakal ditertawakan nanti. "Kenapa ni Abang? Termenung jer Su tengok dari tadi." Suraya isteriku mampir menegur. Igauanku serta-merta sirna. Nostalgia sewaktu menjadi Cerpenis alias pengarang kreatif suatu masa dulu hilang. Plot-plot cerpen Dia Seorang Teman yang berlegar di minda hilang tiba-tiba. Aku kini sudah berumah tangga dan keaktifan menulis semakin kurang. Barangkali akibat kesibukan dengan kerjaya sebagai pensyarah di UITM. "Petang-petang begini memang seronok termenung." Jawabku selamba. "Ye lah... seronok. Lagi seronok kalau terkenangkan sesuatu yang istimewa." Ujar Suraya sinis memintas sambil perlahan-lahan duduk di kerusi batu sebelahku. "Istimewa? Tak adalah... Mana ada. Nak kenangkan apa pula?" "Mana lah Su tahu. Entah-entah...." Aku menoleh ke arah isteriku sambil tersenyum. Kalimah Suraya mati di situ. "Entah-entah apa?" "Entah-entah masih teringatkan Si 'dia' kot?" "Siapa?" "Sapa tu, Ai... Aisyah kot." Teka isteriku mengingatkan. "Mana Su tahu ni?" "Alah... Su dengar abang sebut nama tu tadi seorang-seorang." "Betul ke?" Soalku menduga. Suraya menangguk. "Su... dalam jiwa abang kasih dan sayang abang hanya buat isteri abang. Cinta abang hanya untuk Su! Sebab cinta abang hanya tumpah kepada insan yang menyintai abang. Janganlah salah sangka." "Akhi! Aku ibarat bayanganmu. Kau ciptakan aku sesedap rasa. Ibarat menterjemah kehidupanmu. Keluarga yang memartabatkan ilmu, Justeru ayahmu menghantar kau belajar di Jordan. Itulah yang kau lakarkan dalam Cerpen Dia seorang Teman. Unik dan cantik sekali lakaranmu terhadap watakku yang juga watakmu." Tutur Suara misteri berwatak Syam memotong perbualanku dengan Suraya. "Jadi? Kenapa mesti kau tak puas hati dengan ciptaanku terhadapmu?" "Aku tak puas hati kerana kau ciptakan Aisyah seorang yang terjebak lesbianime." Aku tersenyum mendengar tutur itu. "Salah?" Soalku sambil mengangkat kening. "Tentunya." "Ia hanya sekadar cerpen. Kau harus faham. Cerpen adalah cereka yang belum tentu sahih. Namun tidak dinafikan ada cerpen yang bertitik tolak kisah benar. Dia Seorang Teman; bermotif untuk menonjolkan nilai pengorbanan yang tinggi dari seorang lelaki terhadap seorang wanita bernama Aisyah selain nilai-nilai lain. Aku menyeret khalayak pembaca menilai lesbianisme dan homoseksual adalah kepincangan yang wajib dibuang jauh dari dunia umat Islam." Jawabku yakin. "Aisyah gadis baik. Berpendidikan agama di peringakat menengah. Dibesarkan dalam keluarga yang bertatasusila. Mengapa kau jebakkan dia dalam lesbianisme?" "Itu bukan hal pelik. Kau lihat sahaja, ada gadis yang terjebak dalam kancah cinta dengan lelaki berlainan agama sanggup menukar agamanya alias murtad. Itukan lebih teruk?" "Bukankah lebih baik kau temukan cinta antara aku dan Aisyah awal-awal? Barangkali boleh menghalang Aisyah daripada terjebak lesbianisme." "Hei... cinta sejati cinta yang perlukan pengorbanan, kesetiaan, kejujuran dan..." Aku mengumpul kekuatan berhujah. "Cinta sejati jarang tiada halangan. Kau lihat sahaja Kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Betapa benih cinta di hati Zulaikha tumbuh menyebabkan Yusuf terpenjara. Namun setelah Yusuf dibebaskan dan terpilih menjadi wazir cinta Zulaikha terhadap Yusuf bersatu. Zulaikha ditemui Yusuf di pasar dalam keadaan yang comot menyebut-nyebut nama Yusuf, sedangkan Zulaikha asalnya seorang jelitawan. Itu kisah cinta sejati yang bersatu. Ada juga cinta sejati yang tidak bersatu, terpisah dengan kematian dan sebagainya. Kau masih beruntung. Watakmu kucipta bersatu dengan Aisyah." Jelasku panjang lebar. "Bukan itu maksudku!" "Habis maksud kau... aku tidak boleh memisahkan kau dan Aisyah? Kau tidak boleh ke Jordan? Kalian perlu mendaftar di Matrikulasi UIAM bersama-sama. Begitu?" Soalku mendesak. Tiada jawapan terpacul. "Kau yakin cinta Aisyah padamu? Atau sedalam mana cintamu pada Aisyah? Atau kau nak kepastian ada bibit-bibit cinta Aisyah terhadapku dalam dunia relitinya. Aku baru nak menanam keyakinan. Tapi istana keyakinanku roboh ketika aku dikhabarkan Aisyah menjalin persahabatan dengan lelaki lain. Cemburuku begitu. Akukah yang bersalah tidak mampu menerima cinta Aisyah?" Soalan terakhirku melenyapkan suara-suara misteri yang menggangguku. Aku lega setelah itu. Dalam Cerpen Dia Seorang Teman aku menemukan Aisyah dan Syam. Itu cuma watak-watak yang barangkali tidak terjadi antara Syamsul Bukhari dan Aisyah sebenar dalam dunia realiti. Cukuplah sekadar aku menggunungkan falsafah pengorbanan seorang lelaki terhadap seorang temannya dalam cerpen. Dalam dunia nyata hidup bukan ibarat plot-plot cerpen yang bebas dilakarkan. Pengorbananku barangkali sesuai untuk insan lain. Aku menilai cinta sejatiku untuk insan bergelar isteri. Kali terakhir aku membaca kalimah-kalimah Aisyah sewaktu masih berada di Jordan. Aisyah melafazkan dia sukar melupakan insan bernama Syamsul Bukhari. Sayang. Semuanya sudah terlewat. Aku diikat pertunangan dengan Suraya, gadis pilihan keluarga yang kukenali semenjak kecil lagi. Cinta Suraya terhadapku cinta sejati. Mungkin cinta itu berputik sewaktu ayahnya pernah bergurau untuk berbesan dengan ayahku semasa kami masih kecil. Sewaktu aku berhempas pulas menamatkan pengajian di Jordan Suraya menamatkan pengajian dalam bidang Usuluddin di Universiti Al-Azhar, Kaherah. Cinta kami bertaut kembali di tanahair dan diikat dengan perkahwinan. Sepertimana aku pernah ciptakan untuk Syam dan Aisyah dalam Dia Seorang Teman. Semalam aku terima emel dari Aisyah. Dia menjemputku ke majlis perkahwinannya dengan seorang jejaka yang mengembalikan cintanya bernama Hisyam. Masih bernama Syam. Tahniah buatmu Aisyah. "Abang khayal lagi?" "Tak... abang tengah fikirkan sesuatu." "Pasal apa?" "Anak abang macam mana?" Soalku menukar topik sambil tanganku menjamah perut isteri tercinta seraya mengurut-ngurut cermat. Suraya tersenyum mesra. Perut isteriku semakin membesar hamil anak sulung hasil perkahwinanku dengannya sejak hampir setahun yang lalu. "Anak abang jer?" Pintas Suraya bernada rajuk. "Anak abang kan anak Su juga!" Wajah keruh Suraya kembali ayu. "Bang... apa kita nak namakan anak kita ni?" Soal Suraya manja. "Kalau perempuan kita namakan Humaira. Mesti comel macam ibunya." "Emmm... sedap nama tu. Kalau lelaki? "Kalau lelaki kita namakan Muhammad Al-Amin. Amacam?" Bukankah Aisyah Ummul Mukminin isteri Nabi Muhammad SAW dipanggil Humaira? |
Cerpen - Kerana Dia
Ain merenung lautan biru di hadapannya. Masih terngiang-ngiang di telinga akan kata-kata yang diucapkan oleh Hakimi, insan yang mendorongnya untuk mencapai cita-cita. Dia melepaskan keluhan. "Ain dah fikir masak-masak?" soal Hakimi. Dia mengangguk. Hakimi menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau macam tu, buat apa susah payah belajar tinggi-tinggi. Dapat ijazah? Lagipun, kerja tu kotor. Bergelumang dengan rumput, cuci najis, eee... " "Ain tu pemegang ijazah Petrokimia, takkan nak kerja jadi penternak! Suruh je orang lain buat kerja tu, senang!" Hakimi begitu lantang melemparkan ketidakpuasan hatinya. Sedikit pun dia tidak mengendahkan perasaan Ain yang semakin berkecamuk. "Apa yang salah kerja penternak tu? Ain tahu memang jauh bidang yang akan Ain ceburi dengan apa yang Ain pelajari. Rezeki, ajal maut di tangan Tuhan." Hakimi mencebik. "Kimi, Ain cuma minta pendapat. Keluarga Ain bukan orang senang. Abah perlukan Ain. Keluarga perlukan Ain. Ain bantu keluarga sendiri." "Habis Kimi ni siapa?! Kimi ni dah tak wujud lagi?" bentaknya. "Kimi masih insan yang Ain sayang. Ain mencari rezeki yang halal walaupun terpaksa bergelumang dengan kotor. Kalau semua orang nak kerja bersih, kerja senang, sapa yang buat kerja-kerja tu? Tak adalah petani, penternak, peladang kat dunia ni." Luah Ain. "Takkan Ain dah lupa apa yang pernah Ain katakan pada Kimi dulu? Mana Ain campakkan cita-cita Ain?" "Ain tak pernah lupa. Mungkin satu hari nanti, Ain dapat gapai apa yang Ain citakan walau ia mengambil masa yang lama." Ain merenung mata Hakimi. "Kalau Kimi di tempat Ain, bagaimana? Mengalah atau melawan?" Ain cuba menduga. "Terpulanglah! Itu keputusan Ain! Jangan menyesal!" Hakimi meninggalkannya dengan rasa marah. Ain kecewa dengan sikap yang dipamerkan oleh Hakimi namun ia tetap tidak akan mengubah keputusannya. ***************************************************************************************************************** "Ain! Mari sini! Tolong abah bagi makan lembu ni!" "Ya abah!" Tangannya pantas mengaut rumput dengan penyodok dan memberi lembu-lembunya makan. Dia agak janggal melakukan kerja-kerja ini namun dicekalkan hatinya. Kerana dia.... Ain sanggup melakukan apa sahaja. Ain menyarung butnya dan mengatur langkah. Hari ini ibu tidak dapat datang awal kerana menguruskan adik-adik ke sekolah. Tepat 7 pagi, lembu-lembu baka Australia-Fresian- Sahiwal (AFS) itu memasuki petak-petak untuk makan. Kemudian, Ain menurunkan anak-anak lembu dari kandang berdekatan dan dibawa ke ibu lembu. Kerja Ain belum berakhir. Lembu-lembu perlu diberi makan sehingga kenyang untuk menghasilkan susu yang banyak. Abah masih menunggu bantuan kewangan dari Jabatan Haiwan untuk membeli mesin memerah susu. Ain kegelian ketika pertama kali diajar oleh abah cara memegang puting lembu. Enam bulan berlalu. Sepanjang itu juga, Ain tidak mendengar khabar berita daripada Hakimi. Ain cuba menghubunginya tetapi gagal. Jejaka itu sukar dipujuk. Namun Ain redha akan apa yang terjadi. Ain masih ingat bagaimana abah memulakan kerjaya barunya itu. Bermula dari seorang eksekutif teknikal di sebuah syarikat swasta dan akhirnya menjadi seorang penternak lembu. Abah terima tawaran berhenti secara sukarela ketika syarikatnya mengalami kegawatan. Dengan pampasan yang diberikan, abah menternak lembu tenusu. Ain ketika itu hanya mampu memberikan sokongan kerana dia sendiri sedang berjuang untuk memiliki segulung ijazah. Anis, adik keduanya berada di Universiti Teknologi Malaysia dalam jurusan kejuruteraan awam dan Anas adik ketiganya, berada di asrama penuh manakala Amin dan Ayu masih bersekolah menengah dan rendah. Selepas dua bulan membuat persiapan seperti membina rumah, kandang, stor, bilik sejuk untuk menyimpan susu dan sebagainya, abah ditemani seorang kawan berlepas ke Australia. Setelah mendapat khidmat nasihat daripada pegawai perubatan haiwan, abah memiliki baka AFS yang bersesuaian di Malaysia. "Ain, boleh abah tanya sesuatu?" soal abah ketika mereka duduk berehat. Fikirannya penuh tanda tanya. "Kenapa, abah?" "Ain tak menyesal?" soal abah lagi. "Menyesal?" "Kerja dengan abah. Kotor, tangan Ain pun kasar. Selalu luka-luka bila nak potong pelepah kelapa. Ain tak teringin nak kerja yang setaraf dengan kelulusan Ain?" Ain tersenyum. "Entahlah abah, Ain dah lupakan semua tu. Menyesal atau tidak, Ain perlu hadapi kehidupan ini. Lagipun Ain tolong abah sendiri, kan?" Abah mengeluh perlahan. "Abah tak pernah halang cita-cita Ain. Abah tak pernah paksa Ain buat kerja-kerja di kandang walaupun abah tahu kesusahan yang sedang keluarga kita alami." "Ain ikhlas bantu abah. Ini titik peluh keluarga kita. Pendapatan kita pun semakin bertambah, cukup untuk menampung keperluan semua. Janganlah abah risaukan Ain." Dia memberikan keyakinan kepada abah. Dia tidak mahu abah mengaku kalah. "Hakimi?" Abah menyoal lagi. Tersentak dia mendengar nama jejaka itu. Senyumannya hambar. "Hakimi tak boleh terima Ain, abah." "Tak cuba pujuk dia?" Ain mengangguk. "Biarlah, abah. Kalau dah jodoh, pasti akan bersatu." "Dia bukan gunung, Ain. Dengar cakap abah. Ain perlu fikirkan tentang diri Ain juga. Abah izinkan Ain menikmati masa muda asalkan tahu menjaga batas-batas agama. Tahu jaga nama keluarga." Abah menepuk perlahan bahu Ain. "Umur Ain pun semakin meningkat. Takkan Ain nak kahwin dengan lembu jantan tu?" Abah menunjuk ke arah seekor lembu jantan yang sedang mengunyah rumput. Ain mengekek ketawa. Perasaannya masih terguris dengan sikap Hakimi. Dia faham bukan mudah untuk seseorang lelaki menerima seorang wanita yang berkecimpung dalam bidang yang lasak dan kotor sepertinya. Dia sentiasa bersyukur dengan apa yang ada. Hakimi tidak nampak akan kelebihannya itu. ************************************************************************************************************ Setahun berlalu pergi. Dua hari lepas, Ain menyusulkan agar tanah yang masih kosong berdekatan dengan kandang lembu, dibina reban ayam penelur. Abah bersetuju walaupun dia tahu ia memerlukan modal. Dua orang pekerja diambil untuk membantu Ain menguruskan ayam-ayamnya. Minggu itu, ibu datang bersama adik-adik Ain. Anis, Anas, Amir dan Ayu sedang bercuti dan mereka mengambil kesempatan menolong abah dan Ain di ladang. Gembira hati Ain tidak terkira melihat kedatangan adik-adik yang amat dirinduinya. Hari itu, abah keluar awal tanpa pengetahuan Ain. Ain sendiri tidak berprasangka apa-apa dan cuma menyangkakan abahnya keluar ke Jabatan Haiwan untuk menguruskan bantuan kewangan yang dipohonnya. "Ain, ibu ada bawakan surat untuk Ain." Ain terkesima ketika ibu menghulurkan sepucuk surat kepadanya. Surat bercop PETRONAS ditatap lama. Seketika kemudian, dia merenung wajah sayu ibunya. Ibu tersenyum dan terus meninggalkan Ain keseorangan. "Sukacita dimaklumkan bahawa permohonon anda untuk menjawat jawatan Eksekutif Teknikal di syarikat telah diluluskan. Sila laporkan diri anda di pejabat kami di Chukai, Terengganu pada 16 Oktober 2002. Segala kerjasama anda adalah amat diharapkan. Sekian, terima kasih." Ain melipat semula surat itu. Airmatanya bergenang. Dia pernah memohon jawatan itu tanpa pengetahuan abah. Hasratnya untuk mencuba dan dia tidak menyangka permohonannya berjaya. Perasaannya kini gembira berbaur sedih. Jawatan itu menawarkan pendapatan yang lumayan, setaraf dengan kelulusan yang telah dimilikinya. Cuma... dia tidak mahu meninggalkan abah. Lagipun belum ada lagi adik-adiknya yang dapat meneruskan kerjayanya ini. "Patutkah aku memberitahu abah?" Soal hatinya. Fikirannya bercelaru. Kedatangan Anis datang menyedarkannya daripada lamunan. "Kak, Anis nak beri kakak sesuatu." Di tangannya tergenggam sepucuk lagi surat yang membuatkan hatinya semakin berdebar-debar. "Surat dari siapa pula?" soal Ain. "Surat daripada buah hati pengarang jantung akaklah." Anis mengekek ketawa. Surat beralih tangan. Termangu Ain di situ dengan kehadiran dua surat berkenaan. Salam ingatan buat Anissa Bukhari, Apa khabar dirimu? Kimi di sini sihat walafiat dan begitu juga harapanku agar dirimu terus sihat menjalankan rutin harianmu. Bagaimana dengan hasil ternakanmu? Semakin bertambah? Kimi ingin memohon seribu kemaafan kerana keterlanjuran kata sehingga menyinggung perasaanmu. Kimi sedari apa jua keputusan yang Anis buat adalah yang terbaik. Kimi sedar Kimi bersalah padamu setahun dahulu. Maafkanlah Kimi. Oh ya, untuk pengetahuanmu, Kimi berjaya melanjutkan pelajaran ke peringkat Sarjana di Jepun. Doakan kejayaan Kimi di sini. Percayalah Anis, kasih sayang Kimi tidak pernah luntur. Kimi harap agar Anis masih menyayangi diri ini. Berilah peluang kali kedua untukku memperbaiki kesilapan lama. Sampai di sini dahulu coretan buatmu. Sampaikan salamku buat semua. I love you Anissa! Ikhlas dari perantauan, Hakimi Mansor Kau masih mengingatiku, Kimi? Ain tersenyum. Ternyata kuntuman kasihnya masih mekar terhadap jejaka itu. Kini, insan yang dirinduinya telah jauh di rantau orang dan dirinya masih di ladang itu. Tiada penyesalan yang perlu dirasakan dan dia begitu senang dengan keadaan hidupnya. Keadaan riuh rendah di luar rumah kecil. Dia berlari mendapatkan ibu. Rupa-rupanya abah baru pulang dan adik-adik Ain menyambutnya. Ain tergelak diikuti oleh ibunya. Abah tersenyum memanjang seperti ada sesuatu yang amat menggembirakannya hari itu. "Kenapa abah tersenyum lebar je ni?" Ain cuba bertanya. "Cuba teka." Ain menggelengkan kepala. Begitu juga ibu dan adik-adik. Abah menarik nafas dan berkata, "Baguslah semua ada di sini. Bolehlah kita berbincang anak beranak." "Abah ada tiga berita gembira." "Tiga?" Masing-masing bertanya. "Ya, tiga. Pertama, abah berjaya mendapat bantuan kewangan untuk membeli mesin memerah susu. Lusa, Jabatan Haiwan akan hantar ke sini. Kedua, abah dapat peluang berniaga daging dan susu segar di pasar awam." Abah diam seketika. "Ketiga, abah?" Anas spontan bertanya. "Tanya kak Ain." Adik-adik mula memandang Ain. Ain dalam tanda tanya. Apa maksud abah? "Ain tak faham, abah." Abah bangun. "Sudah tiba masanya Ain memikirkan diri Ain pula. Abah sanggup melepaskan Ain pergi demi cita-cita yang ingin Ain gapai. Abah tahu Ain dah terima surat jawapan dari PETRONAS." Ain memandang ibunya. "Maafkan ibu, Ain." "Jangan salahkan ibumu. Abah tahu niat kamu baik, ingin terus menolong abah di sini. Janganlah kamu risaukan abah, abah kan dah ada empat orang pekerja? Sampai bila Ain sanggup bertahan di sini?" "Ain tak pernah minta balasan. Ain ingin balas jasa abah ibu yang bersusah payah membesarkan Ain dan adik-adik. Ain tidak terfikir untuk meninggalkan abah hanya untuk mengaut pendapatan yang lumayan." Ibu memeluk Ain. "Bukan itu maksud abahmu, sayang. Kami benar-benar menyayangimu dan adik-adik dan kerana itu, kami tidak pernah menghalang apa yang ingin kamu lakukan. Syukurlah kerana kami dianugerahkan anak-anak seperti kamu semua." Ain memeluk erat ibunya. **************************************************************************************************************** Kini, dua tahun berlalu. Ain masih tetap setia dengan kerjayanya. Terasa berat untuk meninggalkan ladang yang mengajarnya erti kehidupan sebenar dan yang paling penting, Ain tidak sanggup meninggalkan abah, insan yang amat disayanginya. Tawaran yang diterimanya terus diabaikan. Dan setiap bulan, dia menerima kunjungan warkah daripada Hakimi Mansor. Tinggal setahun lagi pengajian Hakimi akan berakhir. Dan dalam tempoh setahun itu, Ain menanti dengan penuh debaran. Perniagaan abah menjual daging dan susu segar di pasar awam mendapat sambutan. Malah abah menjadi pembekal susu segar untuk beberapa buah syarikat. Abah juga menjual lembu-lembunya yang cukup matang bagi ibadah korban dan akikah. Ain semakin berbangga dengan kejayaan abah. Ternyata usaha mereka sekeluarga tidak sia-sia. Ternakan ayam penelur yang diusahakan Ain juga mendatangkan hasil yang lumayan. Ain tersenyum senang setiap kali memandang ladang ternakannya yang semakin berkembang. Ain merenung dirinya di cermin. Dia membelek-belek wajahnya. Kemudian ditenung pula badannya yang semakin kurus. Dia tidaklah secantik Wardina Saffiyah, artis pujaannya, namun dia bersyukur dengan anugerah Ilahi kepadanya. Apalah yang seorang wanita mahukan dalam hidupnya? Dia mahu menyayangi dan disayangi, mempunyai keluarga dan berkeluarga, menjadi seorang anak kepada kedua ibu bapa, seorang kakak atau adik, seorang isteri kepada seorang suami dan menjadi seorang ibu kepada anak-anak yang bakal lahir dari rahimnya dan menjadi peneraju kepada agama dan bangsa. Itulah impian seorang wanita termasuk dirinya. Bagaimana penerimaan Hakimi terhadapku? Ikhlaskah dia menerimaku kini? Hatinya terus berkata-kata. **************************************************************************************************************** Hujan turun dengan lebatnya. Hatinya dirundung perasaan gelisah. Entah mengapa kerja yang dilakukannya dari awal pagi serba tidak kena. Dia melihat jam di tangan. Sepatutnya abah dah balik, tapi tak nampak pun lorinya, hatinya berbisik. "Kenapa dia lambat sangat hari ini?" "Kenapa cik Ain?" soal Saiful yang menyedari perubahan Ain sejak pagi itu. "Abah.... " Hanya itu yang terkeluar dari bibirnya. Hatinya semakin tidak keruan. Dia terbayangkan abah. Hujan semakin menggila, seolah-seolah tidak mahu berhenti. Dia sendiri mati akal untuk mencari abahnya. Dia cuba beristighfar dan menenangkan perasaannya. Dia berlari ke rumah kecilnya. Dicapai tuala untuk mengeringkan badannya yang basah dihujani di luar tadi. Tudung di kepala dibuka. Dia melangkah perlahan ke tingkap. Abah, pulanglah. Ain risaukan abah. Hingga lewat malam, abah tidak juga pulang ke ladang. Ain melepaskan keluhan. Di hatinya masih tersirat perasaan bimbang bercampur takut jikalau sesuatu terjadi kepada abahnya. Abah takkan pulang ke rumah tanpa pengetahuan Ain, dan selalunya Ain akan ikut sama jikalau abah merindui ibu dan adik-adik yang hanya akan datang ke ladang pada hujung minggu sahaja. Telefon bimbit Ain berbunyi. Dia tersentak diri dan terus menjawab panggilan itu. Telefon terlepas dari genggaman. Ain terduduk ke lantai. Air matanya mengalir, sederas hujan yang masih lagi membasahi bumi di luar sana. Tiada siapa yang dapat meredakan tangisannya kali ini. Kerisauan Ain menjadi kenyataan. Mimpi buruknya menjadi realiti. "Abah.... isk... isk..." Hanya nama itu yang disebutnya. Dia memeluk tubuhnya. Terkenang akan gelak tawa insan yang amat disayanginya. Kata-kata nasihat, semangat dan dorongan abah masih terngiang-ngiang di telinganya. Mengapa ini nasib yang perlu Ain terima, abah? Kenapa abah tinggalkan Ain? Sudah hilangkah kasih sayang abah terhadap Ain? Pada ibu? Pada adik-adik? Ya Allah, mengapa dugaan seperti ini yang perlu aku hadapi? Mengapa terlalu awal Engkau menjemput abahku sedangkan anak-anaknya masih ketandusan kasih seorang ayah? Nalurinya berkata-kata, memohon simpati walau tiada siapa yang mendengarnya. Pintu rumah kecil terkuak. Ibunya menjengukkan muka. Ain berlari memeluk ibu. "Sabarlah sayang, kita balik ke rumah." Ibu masih tabah menghadapi berita seperti ini sedangkan dia.... Ain mencapai beberapa helai baju dan mengikut jejak ibu ke kereta. Sepanjang perjalanan, kedua ibu dan anak diam seribu bahasa. Masing-masing melayani fikiran, mengingati pemergian insan penting dalam keluarga. Mereka tiba di rumah. Kini, umurnya baru meningkat 25 tahun dan belum puas menikmati kasih sayang abah. Itu bagi Ain, bagaimana pula dengan Amir? Ayu pula? Jenazah abah selamat dikafankan. Ain dan adik-adik dibenarkan menatap wajah abah buat kali terakhir. Wajah abah tenang, tenang seperti lautan yang tidak dipukul oleh ombak yang kuat. Ain mengucup dahi abah. "Maafkan Ain, abah. Halalkan makan dan minum selama ini. Ain akan sentiasa mendoakan abah." Dia menahan air mata daripada gugur mengenai jenazah abah. Jam sudah 2 pagi. Abah akan dikebumikan selepas Subuh. Kata tok imam, tak elok biarkan jenazah lama-lama. Ibu bersetuju. Ain memeluk erat Anis dan Ayu. Tersedu-sedan mereka menangis di bahunya. Kata ibu, abah terlibat dalam kemalangan ketika pulang menghantar susu ke Pusat Pengumpulan Susu Jabatan Haiwan. Sebuah trailer dari arah bertentangan hilang kawalan dan merempuh lori abah. Abah tersepit di tempat pemandu dan semasa anggota penyelamat datang, abah sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah selamat dikebumikan. Seluruh ahli keluarga Ain mengiringi jenazah. Tangisan masih belum reda. Ketika melangkah pulang, Ain terpandang sesusuk tubuh yang amat dikenalinya, tidak berbeza seperti dahulu. Tubuh itu mengorak langkah longlai ke arahnya. Tiada senyuman, hanya renungan mata yang sayu diikuti dengan tundukan. Ain membatukan diri apabila tubuh itu berdepan dengannya. Air matanya dikesat. Hakimi menghulurkan tangan. Tiada sebarang reaksi dipamerkan oleh Ain. Hakimi menggenggam jemari Ain. Lembut. Hakimi mencuit dagu Ain. Ditatapnya wajah yang amat dirindui sepanjang dua tahun itu. Wajah yang manis walau tanpa secalit mekap pun. Ain membalas renungan Hakimi. "Abah dah tinggalkan Ain, Kimi. Abah dah tinggalkan adik-adik Ain, ibu Ain." Hakimi memaut bahu Ain ke dalam pelukannya. Dia tahu gadis itu masih bersedih hati. "Setiap yang datang, pasti akan pergi, sayang. Kita yang masih hidup, perlu meneruskan perjuangan ini." Ain mengangguk perlahan. "Ain, kita teruskan hajat abah. Kimi berjanji akan tolong Ain laksanakan hajat abah itu. Ladang itu kita jaga, bagi makan pada ternakan, perah susu, ok? Kimi akan sentiasa bersamamu." "Tapi....." Belum sempat Ain menghabiskan kata-katanya... "Rezeki yang Allah kurniakan ada di mana-mana sahaja. Kimi tahu betapa besarnya pengorbanan abah buat keluarga Ain." Ain tersenyum. Sungguh dia tidak menyangka Kimi menerima dirinya. Kepulangan Hakimi menguatkan lagi semangatnya. Ya, perjuangan hidup masih perlu diteruskan. Pengorbanan abah di ladang perlu diteruskan. Itu amanah abah. Itu sahaja peninggalan abah buat Ain dan keluarga. Ya, kerana dia.... dia adalah segala-galanya buat Ain. Kerana dia.... |
Subscribe to:
Posts (Atom)